Cerpen: Sebelah Kursi, Sepotong Hati
Langit Payakumbuh belum terlalu terang ketika Rangga menaiki sebuah Isuzu Elf milik PO Ayah, yang akan membawanya menuju Bukittinggi, lalu lanjut ke Padang. Kursi di sampingnya masih kosong saat bus melaju perlahan meninggalkan suara pasar dan bau tanah basah selepas hujan semalam.
Tak lama, seorang gadis duduk di sebelahnya. Wajahnya teduh, berhijab, kulitnya cerah, dan matanya besar. Ia menatap jendela sejenak, lalu menyapa sopan saat Rangga mengangguk memberi ruang.
“Dari Payakumbuh juga?” tanya Dika membuka percakapan.
“Iya, kuliah di Bukittinggi,” jawabnya dengan suara lembut.
Namanya Dina.
Obrolan mereka mengalir. Basa-basi awal berubah menjadi tanya jawab yang lebih santai. Mereka bercerita tentang kuliah, keluarga, makanan favorit, dan mimpi masa depan. Tidak ada yang berlebihan, tapi juga tidak dibuat-buat. Kadang keduanya saling melempar lelucon. Dina tertawa pelan, menutup mulutnya sambil mencuri pandang ke arah Rangga. Ia tak menyangka akan merasa nyaman dengan orang asing.
Namun Bukittinggi terlalu dekat untuk membiarkan rasa tumbuh lebih dalam. Dina turun, menyapa sopan, dan mengucapkan sampai jumpa. Tapi keduanya tak sempat—atau tak berani—bertukar nomor.
Dan waktu berlalu.
Sebulan kemudian, di rute yang sama namun arah sebaliknya, takdir kembali memainkan perannya.
Rangga naik dari Padang. Ketika bus berhenti di Bukittinggi, ia hanya menunduk sambil menunggu bangku terisi. Tapi langkah kaki yang menaiki tangga bus terasa familiar. Dan ketika Dina muncul dan langsung duduk di sebelahnya—tanpa ragu—Rangga menoleh, nyaris tertawa.
“Kita ketemu lagi,” kata Dina, seolah tidak percaya.
“Kayak sinetron ya,” jawab Rangga, tersenyum.
Percakapan mereka kali ini lebih hangat, lebih personal. Tak ada lagi rasa sungkan. Mereka saling bercerita tentang hubungan yang pernah gagal, ketakutan akan masa depan, dan kenangan kecil dari masa lalu. Ketika Rangga memuji suara Dina yang lembut, Dina membalas dengan berkata bahwa Rangga punya cara bicara yang menyenangkan—tenang tapi cerdas.
Sebelum Dina turun, kali ini mereka saling bertukar nomor HP. Tidak ada janji. Tidak ada rencana. Tapi keduanya tahu, jika semesta mau, mereka akan bertemu lagi.
Lalu pertemuan ketiga pun datang—sekali lagi di bus yang sama.
Tak ada yang merencanakannya. Tapi ketika Rangga melihat Dina naik dari Bukittinggi dan kembali duduk di sampingnya, ia merasa, “Kalau bukan takdir, ini apa?”
Di perjalanan yang sama itu, Rangga menyampaikan apa yang selama ini ia tahan.
“Aku suka sama kamu, Din. Entah kenapa... tiga kali ketemu di tempat yang sama bikin aku percaya bahwa mungkin kamu bukan orang biasa.”
Dina terdiam sejenak, lalu menoleh pelan.
“Aku juga suka kamu, Rangga. Tapi... beri aku waktu untuk berpikir.”
Rangga mengangguk. Ia tak meminta jawaban. Yang ia butuhkan hanyalah kejujuran—dan perasaan itu sudah cukup menghangatkan hatinya.
Tapi kali itu menjadi yang terakhir.
Nomor Dina tak lagi aktif. Pesan tak dibalas. Telepon tak terangkat. Tak ada pertemuan keempat. Tak ada jawaban yang sempat diberikan.
Rangga tak pernah tahu mengapa. Ia hanya bisa menebak-nebak. Mungkin ponsel Dina hilang. Mungkin ia sengaja menghilang. Atau mungkin memang begitulah cerita mereka ditulis.
Kini, setiap kali Rangga naik bus PO Ayah, ia selalu melirik bangku kosong di sebelahnya. Terkadang ia tersenyum sendiri, mengenang suara tawa yang dulu mengisi perjalanan pendek antara Payakumbuh dan Bukittinggi.
Dina mungkin hanyalah persinggahan di perjalanan cintanya. Tapi bukan berarti ia tidak nyata.
Karena terkadang, orang yang datang hanya sebentar... justru paling membekas.
