[ADIDOC] Mengunjungi Showcase Gadgetgrapher Sumbar
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
Desember 16, 2016
Rating: 5
![[ADIDOC] Mengunjungi Showcase Gadgetgrapher Sumbar](https://i.ytimg.com/vi/_KnObqplPyI/default.jpg)
5 Fakta Tentang Kurniadi Ilham (Edisi Fotografi)
Hai, selamat berakhir pekan. Beberapa waktu yang lau aku
kepikiran untuk membuat fakta tentang diriku. Well, aku memang tidak begitu
dikenal. Tapi tak apa lah ya, khusus untuk pembaca blog ini saja. Aku akan
membagi nya menjadi beberapa edisi. Edisi kali ini, aku akan berbagi fakta
tentang diriku dari segi fotografi saja.
Lets started!
1. Tidak punya DSLR
Aku sama sekali tidak punya DSLR. Walau pernah
menggunakannya, tapi itu bukan punyaku, itu kamera pinjaman. Aku cuma punya 2
Sony DSC-W730 (saat ini keduanya rusak), 1 Fujifilm Finepix S2 Pro (pemberian
temanku) dan 1 HP Blackberry Q5 yang kupakai untuk memotret. Jika kalian
melihat aku menggunakan tagar #canonindonesia di instagram ku, itu artinya aku
menggunakan Canon EOS 550D, Canon EOS 600D, Canon EOS 1100D dan Canon Ixus 80
IS punya temanku. Sedangkan jika aku menggunakan #nikonindonesia, itu artinya aku
menggunakan Nikon D3200 & Nikon Coolpix S3400 punya temanku juga.
Bagiku, kamera tak menjadi masalah. Asal tahu teknisnya dan
tahu cara pengaplikasiannya. Yang lucunya, beberapa teman yang pertama kali bertemu denganku, tidak percaya bahwa selama tahun 2014-2015 aku memotret dengan Sony DSC W730. Terserah mau percaya atau tidak. Yang jelas foto diatas sudah membuktikannya.
2. Tidak pernah mengangkat telepon saat memotret
Aku adalah orang yang tidak pernah mengangkat telepon,
termasuk membalas pesan saat memotret. Jika aku memotret dengan kamera DSLR
atau Compact, aku akan meletakkan HP ku di tas, dan aku akan larut dengan
kegiatanku, sehingga tidak akan tahu ada telepon masuk atau pesan masuk. Lain
halnya jika aku memotret dengan HP, aku akan mengaktifkan Airplane Mode agar
tidak ada panggilan masuk. Lagi motret pasti gak enak ada panggilan masuk, bisa
ketinggalan momen.
3. Baru belajar fotografi tahun 2013
Aku baru mulai belajar fotografi tahun 2013, jadi masih bau
kencur. Tidak tepat jika kalian yang sudah memotret dari lama, minta wejangan
padaku, aku cuma anak ingusan. Well, menurutku itu salah juga sih. Karena
proses belajar masing-masing individu berbeda. Ada yang cepat, ada juga yang
lambat.
4. Mendalami street photography tahun 2014
Aku mulai mendalami street photography tahun 2014. Awalnya
aku punya ide membuat pameran foto di ruang umum. Jadi aku menyampaikan ide itu
ke temanku, dan dia menyampaikannya di komunitas tempat dia bernaung. Hasilnya,
ditolak.
Tapi kemudian, temanku menyarankan ide itu dibawa ke salah
satu komunitas Street Photography di Padang. Dan mereka langsung mengiyakan. Kemudian
aku berbaur disana dan mengetahui tentang Street Photography. Karena pada
dasarnya aku seorang penulis dan suka mencari data. Maka kuputuskan untuk
mencari tahu tentang street photography di internet. Aku menemukan Indonesia on
the Streets dan APF Magazine di facebook. Dari sana awalnya aku belajar street
photography, karena yang diterapkan di Padang masih seputar Human Interest.
Kemudian aku berselancar menuju tempat-tempat yang lebih jauh seperti webblog
Street Photogrpher luar negeri, Kujaja.com, Fine Art Portugal, dll. Dan aku
menemukan bahan yang cukup, sampai akhirnya teman-teman di Padang memintaku
mengadakan workshop di pertengahan 2014. Itu cukup aneh bagiku, karena sekali
lagi, aku orang baru di dunia fotografi.
5. Malas edit foto
Aku orang paling malas mengedit foto. Tapi, itu bukan
berarti aku selalu menampilkan hasil yang fresh dari kamera. Ukurannya pasti
besar dan aku pasti akan cepat kehabisan kuota. Awalnya aku menggunakan
PhotoScape, kuedit sebisanya, sewajarnya. Lalu salah satu temanku mengajarkanku
menggunakan Adobe Photoshop. Kupikir hanya auto contrast, auto color, auto
tone. Ternyata tidak, dia mengajarkanku lebih jauh lagi. Nah, pertama curve
dulu, terus contrast, terus color, terus gradient, terus reduce noise. Pokoknya
lebih panjang lah dari yang kusebutkan tadi. Aku pusing tujuh keliling karena
itu. Akhirnya aku menemukan Adobe Photoshop Lightroom, aku melihatnya di blog
Eric Kim. Disana ada preset yang bisa kugunakan, favoritku adalah Eric Kim Film
Preset Portra V9 dan V8. Cukup satu klik, export, selesai.
Jika menggunakan HP, aku jarang mengeditnya. Kalaupun butuh
diedit, aku menggunakan snapseed.
Itulah 5 fakta tentang ku di edisi fotografi. And at the end,
keep shooting!
5 Fakta Tentang Kurniadi Ilham (Edisi Fotografi)
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
November 12, 2016
Rating: 5

KIRA Tampilan Baru?
Oke, mungkin beberapa orang bertanya kenapa banyak produk di Kira Shop Padang banyak yang hilang. Ya, aku memang sengaja menghapus barang-barang terdahulu. Alasannya simple, pertama, karena beberapa produk sudah tidak available lagi. Kedua, karena beberapa produk sudah tidak up-to-date. Ketiga, karena banyak sekali produk yang tidak tersusun rapi, sehingga kamu sebagai pelanggan merasa kesulitan saat akan mencari produk.
Aku tetap menggunakan logo yang sama, banner yang sama. Aku cuma memperbarui album foto dan postingan. Album foto sudah dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil, jadi lebih mudah untuk menemukan yang diinginkan. Contoh nya "Souvenir Pernikahan Harga Di Bawah 5000 (Ready Stock)". Dan juga dari foto postingan, mungkin kamu bisa bandingkan sebelum dan sesudah.
Sebelum
Sesudah
Sekarang kamu gak perlu capek-capek liat deskripsi di bagian bawah, karena info nya udah lengkap di gambar. Yang penasaran, langsung aja cek ke https://www.facebook.com/kirashoppadang/
Update untuk instagram dan twitter menyusul ya.
KIRA Tampilan Baru?
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
November 09, 2016
Rating: 5

Kenapa Harus ROG?
Akhirnya di endorse ASUS ROG, ah itu bukan postinganku, itu
videonya si Chandra. Well, selama tiga tahun terakhir aku memang ditemani
netbook kecil bernama ASUS Eee PC. Aku pertama kali ‘kena’ sama ASUS adalah
disaat launching ASUS Fonepad, aku ikut challenge ASUS untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar produknya. Dan yaayy, aku berhasil menjawab
sebagian besar pertanyaan dan mendapatkan sertifikat dari ASUS. Bangganya
setengah mati, dan sertifikat online itu langsung kupajang di laman facebook ku.
Eh, tadi kita bahas apa ya?
ASUS Eee PC ini memang lebih mudah untuk dibawa, cukup
dengan tas kecil. Bisa muat netbook, kamera dan buku catatan kecil. Tapi keperluanku
cukup banyak, bukan cuma menulis. Aku cukup susah ketika proses editing foto
dan video, karena ini netbook gak kuat mameeen. Palingan Adobe Photoshop aku
pake yang CS4, Adobe Lightroom pake yang CS2, Adobe Illustrator juga CS2.
Disaat semua sudah mengutak-atik Adobe CC, aku masih berkutat dengan masa lalu.
Belum lagi editing audio dengan Adobe Auditon, untungnya yang ini lumayan
tinggi, CS5. Yang paling kurisaukan adalah processing video dengan Adobe
Premier dan Adobe After Effect, ah dia (ASUS Eee PC) tak bisa berbuat
banyak. Kucoba dengan software yang
lebih ringan seperti Filmora dan Camtasia. Lumayan, bisa digunakan, walau
sedikit lamban.
Aku berpikiran seperti ini, setiap ada kelebihan, pasti lah
juga ada kekurangan. Kelebihannya adalah netbook ku ini kecil, mudah dibawa
kemana-mana, tidak mencolok. Kekurangannya ya hanya bisa dipakai untuk kegiatan
normal saja, tidak untuk yang berat-berat seperti editing foto, audio dan
video. Perlu laptop bertipe monster untuk melakukan hal-hal berat tersebut.
Setelah itu aku coba search beberapa laptop bertipe monster.
Aku harus menemukan kata kunci yang pas, kucoba “laptop game terbaik”. Booom,
ada beberapa pilihan, dan kemudian aku menemukan ASUS ROG. Aku masih belum ngeh
dengan ASUS ROG, kupikir ROG hanyalah penamaan standar seperti punya ku, Eee
PC. Ternyata setelah kutonton beberapa video, kubaca beberapa artikel dan
berita, aku sadar ternyata aku salah. Mungkin jika kalian ingin aku membuat
Vlog dari tulisan ini, aku akan menamakannya Video Go Blog. Ya, alasan pertama
karena berasal dari tulisan blog. Alasan kedua mungkin lebih masuk akal, karena
merasa goblog, gak tau apa itu ROG.
ROG atau Republic of Gamers, wow namanya aja udah keren bos,
apalagi spek nya. Tapi kok desainnya kayak desain kostum Iron Man ya? Mungkin
ini laptopnya Iron man kali ya. Tapi ini laptop perlu banget buat kalian yang
emang hobi main game, apalagi game dengan grafis yang kaya. Dan kalau
kalian pengen itu game bisa direkam, perlu recording screen juga kan. Nah, buat
jalanin itu semua secara bersamaan tentunya gak akan jadi masalah. Laptop ASUS
ROG G752 sudah dibekali spesifikasi hardware yang tinggi, mulai kartu grafis
atau VGA dari NVidia “Nvidia Geoforce GTX980M” dengan VRAM DDR5 kapasitas 8GB.
Jadi wajar-wajar aja gak ada kendala, dan gambar yang dihasilkan terlihat
sangat nyata. Gila, monster banget gak tuh.
Mengikuti seri ROG yang lain, G752 juga menggunakan
teknologi G-Sync yang dapat menyinkronkan antara kecepatan render GPU
dengan layar. Teknologi ini dapat menghilangkan tampilan gambar yang robek atau
patah ketika tengah bermain game. Teknologi lain bernama TurboGear yang
dimiliki ASUS ROG G752 adalah teknologi yang memungkinkan pengguna dapat
melakukan overclock pada kemampuan kerja GPU yang dimiliki, sehingga kemampuan
Laptop dalam memainkan grafis yang berat jadi lebih maksimal. Dari sini
terlihat bahwa Laptop Gaming ASUS ROG G752 terbaru memang sangat mengandalkan
sisi kemampuan video grafik yang dimilikinya.
ASUS ROG G752 ada dua tipe. Beda antara keduanya cuma dari sisi kapasitas penyimpanan memori internal dan
grafis. Buat kalian yang udah gak sabar, nih kukasih tau keunggulan lain dari ASUS
ROG G752.
ANTI PANAS
Banyak yang tanya, bener gak ini? Masa iya ada laptop yang
gak panas. Secara logika, komponen elektronik yang sedang aktif (dalam keadaan
hidup) pasti panas. Kulkas aja yang katanya dingin, mesinnya panas juga kok,
coba aja pegang bagian belakangnya (sebaiknya jangan). Tapi, ada sistem pendingin yang bikin suhu
panas tadi jadi adem, dan prosesnya cepat. Jadi gak perlu nunggu sejam dulu
baru dingin. Selama laptopnya nyala, sistem pendinginnya tetap akan nyala.
ASUS ROG G752 menggunakan teknologi Dual Cooper, dua kipas
tembaga yang dipasang di GPU dan CPU. Sehingga, suhu akan tetap terjaga
meskipun ini laptop udah overclock. ASUS ROG
G752 juga menggunakan tiga pipa pengalir panas dan teknologi 3D Vapor Pipe yang
akan langsung menetralisir suhu dengan cairan di ruangan uap.
Laptop ini memang pas banget sama kebutuhanku sebagai audio
editor dan fotografer. Karena software yang kubutukan, memang luar
biasa berat. Saat ini aku memang lebih banyak menulis di blog, tapi dengan
adanya ASUS ROG G752, sudah pasti kamera yang biasa nya kupakai untuk motret,
juga kugunakan untuk rekam video. Ada yang tidak bisa dijelaskan lewat tulisan,
dan audio visual membuatnya lebih bagus.
VIRTUAL REALITY
Kartu grafis NVIDIA® GeForce® GTX™ 1070 membuat ASUS ROG
G752 bisa VR. Btw, buat kalian yang belum tau VR. Virtual reality (VR)
atau realitas maya adalah teknologi yang membuat pengguna dapat
berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer (computer-simulated
environment), suatu lingkungan sebenarnya yang ditiru atau benar-benar suatu
lingkungan yang hanya ada dalam imaginasi. Lingkungan realitas maya
terkini umumnya menyajikan pengalaman visual, yang ditampilkan pada sebuah layar
komputer atau melalui sebuah penampil stereokopik, tetapi beberapa simulasi mengikutsertakan
tambahan informasi hasil pengindraan, seperti suara melalui speaker atau headphone.
Setidaknya itu menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Bahahaha, paragraf macam apa ini?
KEYBOARD GAMING KHUSUS GAMERS GARIS KERAS
Bagi seorang gamer komputer, pastinya keyboard yang bagus
akan sangat penting dan dibutuhkan untuk mendukung performa mereka, sekaligus
buat keren-kerenan (jangan dicoba untuk menggoda cewek). Makanya, ASUS ROG G752 juga dibekali keyboard canggih
laptop gaming yang punya fitur Anti-Ghosting serta beberapa tombol makro untuk
mendukung kenyamanan kamu saat bermain game. Btw, tau Anti-Ghosting
gak? Bukan hantu ya. Jadi Ghosting ini sebenarnya problem jika ada lebih dari
satu tombol yang ditekan. Nah, Anti-Ghosting akan membantu kamu sebagai user agar perintah
bisa tetap jalan. Jadi walaupun ada dua tombol yang tertekan waktu kamu mau
shot lawan, maka Anti-Ghosting akan mengantisipasinya. Aku gak ngerti
algoritma nya gimana, serahkan saja pada ahlinya. Ada juga tombol perekam atau
record yang dapat dengan mudah digunakan untuk merekam semua aksi permainan
game dari awal hingga akhir.
FITUR GAMING
ASUS ROG G752 juga memiliki komponen pendukung yang sangat
memanjakanmu, kayak prosesor Intel Core i7-6700HQ untuk menjalankan berbagai
aplikasi game berat. Intel Core i7-6700HQ bakal memberikan performa yang lebih
powerful karena sudah memiliki integrated graphic yang lebih baik, clock speed
yang lebih cepat, serta hyper threading. Contohnya kayak GTA V, Call of Duty, Sleeping Dogs (Bayu Skak bilangnya GTA Cino), Crysis 3, dll. Selain itu karena
layarnya sudah berteknologi Full HD, maka para gamers pastinya lebih betah saat
main. Plus ketika main di suasana gelap atau terang, sama aja tetap kelihatan
jelas, kan Full HD. Layarnya juga bebas mau ditekuk kayak gimana, karena display nya udah bagus.
Supaya bisa menghasilkan kecepatan kerja yang tinggi dan
akses data yang cepat, ASUS ROG G752 juga punya PCIE4 SSD sebagai media
penyimpanan dengan tingkat akses data yang sangat cepat jika dibandingkan
dengan tempat penyimpanan data yang masih menggunakan harddisk piringan baja.
Gak bakal lemot deh, wuuut wuuuuut.
Buat teman-teman gamers, gak cuma gamers sih, karena ini laptop
juga dibutuhkan di dunia Fotografi dan Sinematografi, wajib punya ASUS ROG.
HIGH QUALITY AUDIO
Kualitas suara yang dimiliki ASUS ROG G752 sudah
sangat-sangat bagus. Karena mereka punya Sonic Studio. Nah, sebagai seseorang
yang juga berkecimpung di dunia Audio (Recording, Mixing, Editing, Mastering),
aku tau banget kalau audio sangat mempengaruhi user. Coba aja kamu main PES,
tapi ambience nya ilang, cuma suara komentator. Pasti berpengaruh ke permainan,
kamu jadi gak fokus lah, gak semangat lah, lupa kerjain tugas lah. Oke yang
terakhir tidak termasuk.
Satu lagi, ASUS ROG G752 juga punya Sonic Radar, yang ini
tujuannya untuk membantu kamu dalam memainkan game nya, namanya juga radar.
THUNDERBOLT
Aku pertama kali mendengar isilah Thunderbolt dari dosenku
di tahun 2010. Karena major ku elektronika, maka aku belajar tentang komputer.
Thunderbolt ini adalah nama port untuk keperluan transfer. Saat itu dosenku menjelaskan bahwa teknologi
ini jauh lebih cepat dibandingkan USB 3.0, kebayang gak tuh? Intel Thunderbolt 3 ini bisa transfer 40Gb/detik, bit bukan Byte. 1 Byte = 8 bit, jadi hitung
sendiri ya. Agar compatible dengan perangkat yang kita miliki, ada port yang
umum dipakai, USB 3.1 Tipe C.
Kalian bisa cek spesifikasi lengkap dari ASUS ROG G752 disini.
Tertarik? Dan untuk penutup. Semoga waktu kalian terbuang
berguna. Terima kasih.
Kenapa Harus ROG?
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
November 06, 2016
Rating: 5

Giveaway 10K Followers Maklum Foto
GIVEAWAY adalah event yang diadakan oleh pihak tertentu
(biasanya developer software dll) untuk membagikan lisensi produknya secara
gratis dan legal. Ada berbagai alasan sebuah perusahaan atau developer
membagikan produk mereka secara gratis dan legal.
Hai, dari beberapa waktu yang lalu aku kepikiran untuk bikin
giveaway saat aku melihat followers instagram @maklumfoto sudah mencapai
9K lebih. Aku mau bikin disaat followersnya sudah mencapai 10K, dan ini adalah pengumuman awal sebelum followers nya sampai segitu. Giveaway yang
aku mau kasih tidak berbentuk barang, apalagi software, karena aku tidak
datang dari silicon valley. Yang ingin kuberi adalah Workshop Street
Photography, Pemutaran Film dan juga Diskusi.
Sebelumnya aku juga sudah mencoba merubah sistem workshop
biasa menjadi mentoring. Hasilnya cukup bagus, karena bisa mempercepat
pemahaman dan skills peserta. Walaupun ada kekurangannya juga, peserta yang
terbatas dan dibutuhkan beberapa mentor di sesi ini.
Untuk workshop kali ini, aku juga mau bikin beda. Tujuannya,
bukan sekadar pengen beda, tapi lebih kepada impact yang dihasilkan.
Sebelumnya aku lebih banyak bahas komposisi foto, karena aku punya materi
tentang itu. Bahkan aku juga sudah meluncurkan eBook yang kutulis sendiri.
Kali ini aku ingin porsinya lebih diperbanyak untuk meningkatkan soft skills.
Karena apa? Masih banyak yang takut untuk memotret di ruang publik, takut
karena reaksi orang-orang atau takut karena hal lain, khususnya di Padang.
Pemutaran film, aku punya beberapa koleksi film dan video
tentang street photography. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sana,
aku punya satu film dan satu video liputan bagus untuk ditonton. Diskusi akan
diadakan setelahnya, bahas film dan juga bahas penerapannya disini.
Awalnya aku berpikiran untuk membuat ini bersama dengan
admin-admin MaklumFoto. Tapi, aku merasa ini agak sulit untuk dilaksanakan
bersama, karena kami tidak berada di satu daerah, juga karena kesibukan kami
yang berbeda-beda. Aku sudah melempar ide ini ke teman-teman admin, dan
mereka setuju, jadi aku sudah mendapatkan ijin.
Untuk melaksanakan kegiatan ini, tentu saja aku butuh
partner. Karena ini bukan giveaway berbentuk barang, tidak akan kirim-kirim
barang ke rumah kamu, makanya butuh partner dan (mungkin) tim. Nantinya,
kegiatan ini akan jadi kolaborasi, kemungkinan besar rekanku iJul
(@streettog) ikut ambil bagian. Begitu pun SPF Indonesia (@spfest) dan
@udaunipajalan, karena aku juga ikut terlibat di dalamnya.
Detailnya seperti apa? Aku belum menyusun semuanya, tapi
konsepnya sudah matang. Jadi tugasku berikutnya adalah menjadikannya dalam
bentuk tulisan, mengontak beberapa rekan, dan eksekusi. Tentu saja akan ku
share jika ada perkembangan, mungkin di kolom komentar, atau bisa juga di
akun sosial mediaku. Jika kalian punya saran, ingin membantuku atau bahkan
ingin berkolaborasi juga, aku akan menerima dengan senang hati. Pastinya
jika kita punya keperluan yang sama. Silahkan komen dibawah, boleh juga
kontak ke 08982698071 (WA) atau @choukyin (Instagram, Facebook, Twitter, Line).
Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Semoga waktu
kalian terbuang berguna, karena terbuang percuma sudah terlalu mainstream.
Giveaway 10K Followers Maklum Foto
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
November 04, 2016
Rating: 5

KENAPA AKU TAK IKUT MEMILIH (18+)
Manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan
melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap
bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah
yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai,
manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap,
sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Oke, sebelumnya aku membahas tentang fenomena ‘street
settingan’ yang terjadi di dunia fotografi, khususnya Indonesia. Kali ini aku
ingin membahas hal lain, yang ingin dikeluarkan dari otakku. Dari judulnya,
mungkin kamu akan berasumsi bahwa tulisanku berkaitan dengan politik, pemilihan
kepala daerah, dan jabatan. Tapi semua itu salah, karena aku ingin membahas
tentang Halal Tourism.
Namaku Kurniadi Ilham, berdomisili di Padang, asli
Payakumbuh dan KTP ku Tanah Datar. Yang ingin kujabarkan dibawah ini adalah
tentang Halal Tourism (Pariwisata Halal), dimana Sumatera Barat menjadi
nominasi di beberapa kategori. Tulisan ini (sekali lagi) kulabeli 18+, bukan
karena konten vulgar, tetapi butuh pemikiran yang dewasa dan luas untuk
menanggapinya. Aku menulis disini, di blog ini, karena ini adalah rumahku di
dunia maya. Aku menyewa rumah dari Google, tepatnya bloggerdotcom, yang
menyediakan rumah gratis.
Kenapa aku tak ikut memilih. Memilih apa? Memilih siapa? Jawabannya
memilih, atau lebih tepatnya memberikan vote untuk Sumatera Barat di ajang pemilihan
Best Halal Tourism di beberapa kategori. Karena ..... Lebih baik aku memulai
nya dari awal.
Aku mengetahui Halal Tourism dari dunia maya, awalnya aku
tak begitu mengerti Halal Tourism itu apa. Aku mencari tahu dari beberapa situs
tentang itu, dan mendapatkan beberapa penjelasan. Kemudian, disalah satu situs,
aku menemukan tulisan “Syariah atau Moslem-Friendly?”. Dua hal ini jelas
berbeda, walau tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pariwisata yang syariah
berarti wisata yang menggunakan kaidah-kaidah Islam dalam pelaksanaannya,
contohnya Hotel Syariah. Sedangkan Pariwisata yang moslem-friendly adalah
wisata yang ramah terhadap umat muslim, contohnya adalah tempat-tempat wisata
yang memiliki fasilitas mesjid atau mushalla. Tak lama setelah aku membaca
tulisan itu, aku membuka facebook dan menemukan satu postingan tentang polisi
pantai di Prancis menghampiri pengunjung yang memakai burkini (pakaian pantai
untuk muslimah), kemudian menyuruhnya untuk membuka burkini tersebut, agar sama
dengan pengunjung lain yang memakai bikini. Disini aku berkesimpulan bahwa
kejadian tersebut tidak ‘moslem-friendly’.
Kembali ke Halal Tourism. Aku mendapatkan pesan dari salah
seorang teman, ada sosialisasi Halal Tourism di Hotel Ibis Padang, mengundang
blogger, media massa dan content-creator. Kemudian aku mendaftarkan diri, agar
bisa mengikuti acara tersebut. Aku masih penasaran dengan Halal Tourism,
pastinya disana ada jawaban yang jelas. Ternyata, acara tersebut diundur selama
seminggu dan lokasi nya dipindahkan ke Hotel Inna Muara. Aku sudah mendapatkan
konfirmasi dari penyelenggara kegiatan. Mereka juga mengirimkan beberapa file
ke emailku, isinya adalah susunan acara dan juga nama-nama narasumber yang akan
mengisi acara tersebut. Tema kegiatannya adalah “Optimalisasi Peningkatan
Wisata Halal Melalui Media Sosial”, diselenggarakan oleh Deputi Bidang
Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementrian Pariwisata.
Aku mendapatkan banyak sekali informasi tentang Halal
Tourism disana. Mereka pun ikut menghadirkan pelaku-pelaku yang ikut terlibat
dalam pemenangan Lombok di World Halal Tourism Award. Halal Tourism sebenarnya
bukan Syariah VS Moslem-Friendly, melainkan gabungan keduanya. Syariah, yang
sudah tentu moslem-friendly. Pernyataan dari beberapa narasumber mematahkan
artikel tentang “Syariah VS Moslem-Friendly”. Di tahun 2016, Sumatera Barat
sudah memenangkan Halal Tourism Award tingkat Nasional untuk empat kategori. Dari
mulai kategori Biro Perjalanan Wisata Halal Terbaik, Destinasi Wisata Halal
Terbaik, Restoran Halal Terbaik, dan Destinasi Kuliner Terbaik, berhasil
disambar Sumatera Barat. Tentunya ini sebuah prestasi yang bagus dari Sumatera
Barat. Apalagi kuliner, siapa sih yang tidak kenal rendang dan nasi padang?
Masuk ke sesi tanya jawab, beberapa peserta diskusi mulai
mengajukan pertanyaan. Dibalik semua prestasi itu, kita tentu tak bisa menutup
mata terhadap kelemahan-kelemahan pariwisata di Sumatera Barat. Sampah, toilet,
pungli, sampai ke posisi content-creator dalam forum ini. Aku mengharapkan
jawaban terbaik. Tak hanya itu, aku juga mengharapkan adanya tanya jawab yang
sehat, yang bertujuan mencapai hasil yang bagus. Dan ternyata banyak sekali
jawaban dan tanggapan yang hadir, aku mengapresiasinya. Kita harus sama-sama
membenahi hal itu, mulai dari diri kita sendiri, saling gotong royong. Untuk
sampah, akan disediakan banyak tempat pembuangan sampah. Toilet akan dibangun
sesuai dengan standar syariah, begitupun tempat ibadah. Untuk pungutan liar,
harusnya tidak ada lagi, oknum-oknum yang bermain curang harus ditindak. Posisi
content-creator adalah sebagai perpanjangan tangan Kementrian Pariwisata untuk
mensosialisasikan Pariwisata Halal kepada masyarakat, dan mengajak masyarakat
untuk vote. Obrolan semakin panjang, sampai akhirnya. Pernyataan defensif pun
muncul seperti, “Pariwisata kita tak sepenuhnya dikuasai pemerintah, sulit
untuk menjangkau beberapa kawasan”, “Perlihatkan yang bagus-bagus saja, yang
jeleknya jangan”, “Kalau kamu cinta Sumatera Barat, ayo vote, bersama kita
menangkan Sumatera Barat”.
Apa maksud semua ini? Setelah itu, salah satu pembicara
membeberkan bagaimana cara memenangkan Sumatera Barat melalui media sosial.
Para content-creator ‘dipaksa’ membuat tulisan bagus dan persuasif. Ia
memberikan contoh, Joko Widodo, Presiden RI. Jokowi kuat di sosial media, itu
adalah salah satu faktor yang membuatnya menang. Ia juga menjelaskan beberapa
cara, yang semuanya hampir sama dengan sistem yang diterapkan Stan Greenberg.
Cara itu memang bagus, tapi mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah masyarakat
akan kecewa, jika ekspektasi berbanding terbalik dengan realita. Beberapa orang
mungkin menerima dengan senang hati karena bantuan dorongan pikiran “Cinta
Sumatera Barat = Ayo vote, ayo share, ajak teman-teman”. Maaf, aku tak bisa
melakukannya, aku bukanlah orang yang cinta buta dengan Sumatera Barat. Aku
mencintai tempat ini, dan aku peduli dengannya.
Setiap content-creator punya alasan yang jelas ketika
mengkampanyekan sebuah program. Jika program tersebut bagus, sesuai dengan
realita, dan menghasilkan dampak yang besar. Pasti ia akan mati-matian mengajak
orang untuk ikut dengannya. Begitu pula sebaliknya. Kamu mungkin pernah melihat beberapa youtuber yang mengajak kita memilih ini atau memilih itu, di masa pemilihan Presiden. Saat ini, beberapa diantara mereka menyesal, bahkan ada yang menghapus videonya. Akhirnya mereka harus membuat video klarifikasi bahwa mereka menyesal mendukung salah satu kandidat, dan menyesal karena sudah mengajak subscriber nya untuk ikut dengan pilihannya. Mungkin kamu (pembaca) masih bingung dengan yang
kujelaskan, karena aku masih menyinggung kulit. Tak ada pilihan lain, aku harus
menjelaskannya secara jelas. Alam Sumatera Barat memang indah, sumber daya alam
kita tiada tandingannya. Tapi kamu pasti bisa melihat jelas, sampah di pantai
padang, pungli di pantai padang. Apakah aku harus memperlihatkan yang bagus
saja? Kemudian bule-bule Dubai itu datang kesini dan berkata “so beautiful” dan
kemudian mereka kecewa dengan keadaan disana. Apa yang terjadi selanjutnya?
Kalau aku sih, mending gak balik lagi kesana, kasih tau teman-teman, jangan
kesana. Apalagi jika yang datang adalah travel blogger dari luar negeri, bisa
kamu bayangkan, apa yang akan dia tulis nanti. Bisakah Deputi Bidang
Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementrian Pariwisata mengatakan
kepadanya, “tulis yang bagus-bagus saja ya, yang jelek-jelek jangan”.
Di Bulan Agustus kemarin, aku menjadi mentor seorang
mahasiswa dari St. Pauli University bernama Ryuki Fujita. Aku dan temanku Ijul
mengajarkannya fotografi, videografi, menulis artikel dan public speaking.
Ryuki berbagi cerita denganku tentang pengalamannya ikut di program ‘Lead the
tourism’. Sebelum datang ke Sumatera Barat, ia mencari tahu tentang Sumatera
Barat dari internet. Kemudian ia mendapatkan beberapa informasi dan memberikan
reaksi. Ia menyukai pemandangan di Sumatera Barat, tapi juga takut terhadap
gempa dan terorisme. Disaat ia sudah tiba di Sumatera Barat, ia menjelajahi
beberapa daerah, dan kemudian ia menyadari ia salah. Pemandangan di Sumatera
Barat memang indah, tetapi tidak dengan sampahnya. Disini juga tidak ada
teroris, yang ada hanya orang-orang lokal yang ramah. Dan Ryuki sangat suka untuk
ngopi di warung kopi kecil, karena bisa ngobrol dengan orang-orang disana. Aku
memberitahunya, “Filosofi warung kopi adalah, it’s not about the coffee, it’s
about conversation with strangers”. Kemudian ia berkata “Kenapa kamu tidak
mengandalkan itu? Keramahan penduduk. Itu akan jauh lebih baik dibandingkan
kamu mengutamakan alam yang bagus. Maaf, Pantai Muaro Lasak adalah tempat yang
tidak menyenangkan. Aku hanya menemukan ketenangan ketika kamu membawaku ke
Pantai Universitas Bung Hatta. Dan aku heran disaat kamu berkata tempat ini
bukan destinasi wisata. Karena tempat ini jauh lebih bagus dibandingkan dengan
Muaro Lasak”.
Kembali ke Halal Tourism. Aku tak mau menjadi tim hore-hore
saja. Jika aku tak berada di pihak yang memberi suara untuk Sumatera Barat, itu
bukan berarti aku tidak peduli dengan tempat ini. Justru orang-orang yang
berdiri di tempat yang sama denganku, adalah orang yang sangat peduli akan
daerahnya. Jika ingin mendatangkan turis dan traveller, sebaiknya benahi dulu
semuanya. Sehingga semua merasa senang, aman dan nyaman. Program-program
pemerintah kita bagus-bagus, beberapa diantaranya sangat-sangat kreatif, sayang
eksekusinya lemah. Belum saatnya Sumatera Barat mendapatkan Award seperti ini,
khususnya untuk World Best Halal Destination. Jika pengunjung datang dan kecewa (bahkan tidak datang sama sekali),
siapa yang akan merana? Kita semua. Hotel akan sepi, karena sepi nya wisatawan
mancanegara, bukan tidak mungkin wisatawan lokal juga tidak akan berkunjung.
Nelayan akan sedih, walau hasil tangkapannya banyak, hotel tak lagi meminta
suplai yang banyak. Perusahaan tour & travel akan mengalihkan target market
mereka hanya untuk wisatawan lokal. Kuliner terbaik Sumatera Barat, rendang dan
nasi padang akan kembali dinikmati oleh masyarakat kita saja. Semuanya terkena dampak,
jika Brand sudah jatuh.
Di akhir tulisan ini, aku hanya ingin berkata. Ini lah
alasanku, kenapa aku tak ikut memilih Sumatera Barat di World Halal Tourism
Award 2016. Aku tak mengajakmu untuk setuju denganku, jika kamu punya pilihan
berbeda, tak akan jadi masalah. Kita takkan bermusuhan, perbedaan pendapat itu
biasa. Aku suka Mie Sedap, kamu suka Indomie. Vote atau tidak adalah hak prerogatif teman-teman.
Satu kata pamungkas untuk
penutup. CERDASI!
KENAPA AKU TAK IKUT MEMILIH (18+)
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
November 02, 2016
Rating: 5

Etika - Estetika (18+)
Hai, selamat pisang, aduuh pisang ini panas sekali ya.
Sudah lama rasanya aku tidak menulis disini, ya di rumahku ini. Hanya share video dari youtube, itupun bulan lalu. Tapi yang namanya rumah, akan selalu dikangeni. Eh ini btw ngerti gak ya, yang kumaksud rumah itu ya blog ini. Kenapa? Bagiku rumah adalah tempat aku bisa ngapain aja, karena aku yang punya. Bedanya kalau di rumah asli, ada orang tua. Disini ada google yang akan selalu mengawasi anak-anaknya, kalau ada yang memuat konten dewasa, langsung dikasih label dewasa.
Saat ini aku juga menjadi penulis di http://maklumfoto.wordpress.com, tidak mudah menulis disana, karena aku mewakili satu organisasi atau kelompok, bukan diriku sendiri. Jadi aku harus tetap hati-hati dalam merangkai kata, untungnya para pembaca disana sudah spesifik dari segi hobi dan rentang usia. Aku sangat yakin pembaca yang berusia dibawah 18 tahun pasti sangat sedikit.
Kali ini aku mau bahas apa ya? Entahlah, aku bingung dengan apa yang ingin kubahas. Biasanya aku selalu punya topik utama untuk diulas, tapi saat ini seorang beberapa topik berbeda ingin keluar dari otak agar bisa dijadikan tulisan. Ah, sebaiknya kujadikan beberapa tulisan saja, semoga pembaca nya lebih banyak dibandingkan jika kugabung semua tulisan itu.
Judulnya Etika - Estetika. Kenapa pakai tanda "-"? Kenapa bukan "&"? Aku cuma membayangkan dua hal ini seharusnya ada dalam satu jalur, saling melengkapi satu sama lain, layaknya pasangan ideal, Young Lex feat Awkarin, ah .... bukan yang itu. Tidak banyak tulisan dengan istilah-istilah seperti ini dalam blog ku. Aku hanya memperlakukannya sebagai catatan harian biasa, untuk tema yang berat-berat, biasa nya kutulis di MaklumFoto atau StreetPhotoHunters.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum. Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia ( baik dan buruk ) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia ( baik dan buruk ) akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama ( relatif ) yaitu tidal terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Pusing gak tu? Paragraf diatas memang kusalin dari blog lain, karena ilmu ku gak nyampe sana, aku cuma tau etika adalah bagaimana cara bertindak dan memaknai sebuah hal dalam satu kondisi tertentu.
Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah.
Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika ( abstrak ). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.
Dan paragraf diatas pun ikut disponsori oleh blog lain, itu lah gunanya CTRL+C dan CTRL+V. Selain dua istilah diatas, ada satu istilah lagi yang (secara tidak sengaja) kutemukan saat sedang menyaksikan keseruan komentar-komentar yang tersaji di status beberapa orang rekan di buku wajah, namanya aksiologi. Aksiologi membahas tentang hubungan etika dan estetika. Dua Puluh Tiga Oktober Dua Ribu Enam Belas jadi hari yang cukup panjang. Ada dua event besar yang berkaitan dengan Street Photography di hari tersebut. Aku sendiri mempersiapkan diri untuk acara PadEeH yang ke empat di hari itu, btw yang tidak tahu, PadEeH adalah nama event tahunan hunting street photography di Padang yang diprakarsai oleh FNSH (FotograferNet Street Hunting). Ini kali keduanya aku jadi koordinator acara ini, bedanya tahun lalu aku masih berada di bawah bendera Street Photo Hunter. Tahun ini, aku tidak lagi menjadi bagian pemburu tersebut. Tahun ini aku bersama dengan 'anak' ku yang sempat kubesarkan di Street Photo Hunter. Walau sudah gonta ganti nama, tapi tetap saja akar dari Street Photography Festival Indonesia adalah Padang Street Expo.
Harusnya kita kembali ke Etika - Estetika, aku sudah membuang waktu kalian, para pembaca, cukup lama untuk sekadar nostalgia. Di buku wajah, aku menemukan status seorang rekan dengan caption "Ternodanya Street Photography!", tentunya disertai visual yang membuat kita disuruh berpikir, dan juga penasaran. Btw ini sebenarnya rahasia, tapi aku tak tahan ingin membeberkannya, om Chris Tuarissa adalah seseorang dengan rasa penasaran level tinggi. Yap, next lanjut lagi ya, cukup segitu, aku tak akan meneruskan bagian terakhir itu. Status tadi dipost oleh seorang fotografer senior dari Pasuruan, untuk kebaikan kita bersama aku gak akan kasih tau namanya. Yang jelas depannya Yanto, belakangnya Nius, gitu deh kira-kira.
Setelah melihat itu, aku pun melihat rentetan-rentetan status lainnya, yang menurutku masih berhubungan. Bagi street photographer yang aktif di sosial media, nimbrung di status-status ini adalah daya tarik nomor 1, ketimbang youtube fanfest dengan kontroversi kubu positif dan kubu negatifnya. Tapi status yang paling menohok bagiku adalah "street settingan". Semua status dan komentar tadi, intinya membahas street settingan.
Well, street settingan kuartikan sebagai street photography yang (subjeknya) di setting, baik itu pose atau dari segi penyediaan properti. Street photography yang di setting, tak ubahnya sepert perpustakaan yang ribut, atau pertandingan sepakbola tanpa kartu merah. Kau mengerti maksudku? Jika tidak, belajarlah analogi, kalau perlu lengkapi dengan satir dan sarkasme.
Sebelum mendalami street photography, aku belajar landscape photography, nature photography, conceptual photography, still-life photography dan macro photography. Untuk kategori yang dituliskan terakhir, aku gagal melakukannya, karena macro benar-benar membuatku bingung, mungkin bakatku tidak disana. Salut dengan teman-teman yang bisa memotret 'teman-teman kecil' dalam semak belukar. Conceptual photography, aku sangat kuat disana, setidaknya menurut beberapa orang rekan yang memperhatikanku. Conceptual on the street memang dikenal dalam fotografi, tetapi istilah itu adalah bagian dari conceptual photography. Bagiku, street settingan = conceptual on the street. Conceptual on the street = conceptual photography. Street settingan = conceptual photography. Ini pendapatku, yang didasarkan banyak tulisan tentang Conceptual Photography, Ve Danito adalah idolaku untuk genre yang satu ini.
Permasalahan dan perdebatan muncul karena street settingan dimasukkan sebagai street photography. Padahal sudah ada ketentuan dan batasan-batasan untuk masing-masing genre. Bukankah tujuan kategori/ genre adalah untuk mempermudah kita untuk membaginya sesuai dengan visi misi pengelompokan itu?
Ada banyak definisi Street Photography yang kita temukan, baik di internet maupun forum-forum diskusi. Tapi pada dasarnya, tujuan dan visi misinya sama. Kamu bisa cek beberapa definisi street photography di link ini. Penjelasan dari Setia Nugraha adalah yang paling mewakili menurutku. Cermati poin kedua dari penjelasan Setia Nugraha, "Keadaan/kejadian yang tidak dibuat-buat, melainkan spontanitas, tetapi bisa jadi kedaan yang di harapkan, ataupun keadaan/kejadian yang kebetulan (decisive moment)". Di ruang publik, kita pasti bersinggungan dengan subjek manusia, mengambil gambar dengan cara candid dan/atau menggunakan pendekatan komunikasi terlebih dahulu adalah cara untuk mendapatkan momen yang ingin dipotret. Yang penting tidak mengarahkan gaya atau pose subjek. Itu termasuk ke dalam etika dalam street photography.
Menghasilkan karya yang berkualitas dan punya estetika, haruslah tetap memperhatikan aspek etika. Foto mu boleh liar, indah, menawan dan menakjubkan, tetapi ada batasan yang harus kau perhatikan. Itulah tantangannya, itu lah yang akan menjadikanmu fotografer yang berkualitas. Berkualitas di semua aspek penciptaan karya, input-proses-output. Kepuasannya pasti beda dengan karya bernama street settingan, jikalau dikategorikan ke dalam street photography, karena kau membohongi salah satu kriteria pembentuk karya Street Photography, dan itu vital bung. Kecuali kau memang menghadirkannya sebagai salah satu karya Conceptual Photography. Konsep yang bagus, akan menghasilkan kepuasan.
![]() |
Kuniadi Ilham. Payakumbuh. 2015 |
Foto diatas, bagaimana menurutmu. Ini foto yang kuambil tahun lalu, saat aku dan teman-teman SPF Indonesia melakukan penelitian karakter daerah dengan pendekatan Street Photography. Apakah menurutmu foto ini dikonsep? Beberapa orang yang mengetahui aku adalah fotografer konseptual di masa lalu, mungkin akan berkata, foto ini dikonsep, disetting. Tapi kau boleh bertanya pada teman-temanku yang ada disana, apa yang sebenarnya terjadi. Aku bahkan juga menuliskan bagaimana foto ini bisa tercipta di Street Photography Composition Series: Self-portrait. Ketika aku mendapatkan email dari kujaja.com bahwa aku terpilih menjadi salah satu nominasi WSP Award 2016, aku tentu saja gembira. Karena apa? Karena aku menikmati prosesnya, dan aku benar-benar berada di dalamnya (street photography), sungguh sebuah kepuasan.
Penghargaan ini, membuatku semakin terpacu untuk lebih giat dan bersemangat. Hal yang sama akan terjadi di dunia street settingan, jika mereka mendapatkan pujian dan penghargaan, mereka akan bersemangat, untuk melanjutkan street settingan.
Etika dan Estetika akan selalu berdampingan, saling melengkapi satu sama lain. Jangan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang indah, begitu juga sebaliknya, semua sudah ada porsinya. Keduanya membentuk keseimbangan, Yin & Yang. Adapun akibat yang muncul karena fenomena ini adalah karya street photography (tanpa settingan) yang menawan, akan dianggap settingan. Hal ini menimbulkan dampak terhadap fotografer, boleh jadi timbul rasa tidak percaya diri, hilangnya semangat, hingga perselisihan, yang akan berujung permusuhan. Akibat lainnya adalah akan banyak bermunculan pakem-pakem baru yang menentang batasan, sehingga tidak relevan lagi dengan street photography sebagaimana mestinya. Forum kritik akan mengalami pengkerdilan, viral dan hits menjadi acuan. Ini akan jadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, khususnya para pelaku yang terlibat langsung di dalamnya.
Aku tidak bertujuan untuk membuat kalian setuju denganku. Melalui tulisan ini aku hanya ingin menyampaikan opini ku, berdasarkan data-data yang kupunya tentang street photography, dan juga sebagai tanggapan atas kejadian yang terjadi di lapangan. Hanya satu kata untuk penutup tulisan ini. CERDASI!
Etika - Estetika (18+)
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
Oktober 29, 2016
Rating: 5

5 Hal Keren Yang Bisa Kamu Temukan Di Museum Adityawarman
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
September 30, 2016
Rating: 5

How to Download Instagram Photo Without Software or App
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
Agustus 14, 2016
Rating: 5

8 Macam Aksen Bahasa Minang Part II
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
Agustus 10, 2016
Rating: 5

8 Macam Aksen Bahasa Minang Part I
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
Agustus 09, 2016
Rating: 5

Padang Banyak Event
Malam ini saya ngumpul sama teman-teman Street Photography Festival 2015. Namun kami tidak membicarakan tentang kegiatan festival yang ingin diadakan tahun 2016 ini. Justru kami membahas event-event lain yang saat ini sedang rame-rame nya di Padang.
Banyak nya event yang diadakan di kota Padang tentu menghadirkan banyak keuntungan, namun juga banyak kerugiannya. Keuntungannya tentu saja, Padang semakin rame, pertumbuhan ekonomi mikro dan makro semakin berkembang, dan semakin banyak pekerjaan dadakan yang bisa dibuat untuk menyambut event-event ini. Kerugiannya, karena banyak jadwal yang bertubrukan maka tentu saja ada yang rame, ada yang sepi. Tapi saat ini saya melihat banyak bermunculan EO baru yang kreatif dengan metode dan cara-cara yang segar. Semoga semakin memacu kreatifitas pemain lama juga untuk memperbaharui metode nya.
Yok, kita cek satu persatu. Saya mulai dari akhir 2015, karena memang lagi rame-rame nya saat itu. Mungkin ada beberapa kekurangan, karena saya posting cuma yang saya tau. Kalau teman-teman punya rekomendasi event lain rentang akhir 2015 sampai sekarang, silahkan tulis di komentar.
Pertama ada event fotografi di tahun 2015 yaitu Street Photography Festival yang diadakan oleh Street Photo Hunters dan Gadgetgrapher Sumbar. Saya tau detail kegiatan ini karena saya ikut terlibat sebagai sekretaris kegiatan. Event ini adalah event Street Photography Festival pertama di Asia, jadi cukup berbangga. Di Eropa diadakan di London dan di Amerika diadakan di Miami. Walaupun belum mencukupi persyaratan sebagai sebuah festival, namun event ini sudah banyak diperbincangkan di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia. Balapan juga sama India karena setau saya di India juga mau bikin di pertengahan tahun tapi akhirnya gabung sama London Street Photography Festival. Kemudian setelah event ini diadakan, daerah lain seperti Jakarta juga mau bikin. Wess kapan lagi kan, yang pertama justru datang dari Padang, biasanya kan Jakarta mulu.
Next, di awal 2016 ada dari dunia perfilman yang diadakan oleh komunitas Cinemama. Beberapa kru Cinemama juga menyempatkan hadir di acara Street Photography Festival Sumatera Barat. Mereka mengadakan pemutaran film dokumenter yang mereka buat bernama Ingatan Visual. Kurang lebih Ingatan Visual bercerita tentang budaya yang ada di Minangkabau, kebanyakan budaya baru dan juga seni tradisional yang sudah mulai dilupakan oleh masyarakat. Ada Tari Kain, ada Salawat Dulang, ada Silek Lanyah, dll. Jika sebelum-sebelumnya Sumatera Barat lebih dikenal dengan event Pacu Jawi, Tari Pasambahan, Tari Piriang dan Pacu Itiak. Cinemama mencoba mengambil sesuatu yang berbeda. Cara penayangannya cukup unik. Ada beberapa layar yang disediakan, masing-masing menampilkan satu kegiatan dan ada sesi wawancara dengan pelakunya. Keren.
Selanjutnya ada Padang Sound Project (PSP) dan Padang Dance Movement (PDM) di tahun 2016. Saya sendiri kurang tau detail event nya seperti apa, yang saya tau dari temen-temen ya 'dugem rame-rame' karena menghadirkan banyak DJ, disk jokey ya bukan Dijah Yellow atau Titi DJ. Di Jakarta sebelumnya ada DWP, konsepnya saya liat hampir sama. Event ini sangat meriah, karena menurut statistik saat ini minat masyarakat masih seputar Musik & Komedi. Kalau sebelumnya banyak sekali kegiatan Color Run, sekarang malah gak keliatan lagi.
Event audisi-audisi seperti Uda Uni & Putri Hijab juga tidak ketinggalan. Sayangnya saya tidak mendapatkan banyak informasi tentang Uda Uni. Kalau Putri Hijab saya liat digital flyer nya di akun Info Sumbar. Karena acaranya banyak yang dempet, alhasil Putri Hijab aja cuma mendapatkan belasan kontestan. Padahal acara nya di Hotel Axana lho, sebelumnya di Bumi Minang sih, pindah tempat, tempatnya kan gede tuh. Ini kurang informasi tentang event lain yang serupa atau berlomba-lomba siapa yang bisa menjaring peserta lebih banyak ya. Yah walaupun begitu, mudah-mudahan sukses dan yang terpilih bisa bersaing lagi di Jakarta.
Kemudian ada lagi event musik yang menghadirkan beberapa musisi yang, eeee bagaimana ngomongnya ya, saya juga gak terlalu paham soalnya, beberapa teman bilang folk. Tapi yang saya tangkap adalah musisi yang membawakan lagu yang puitis. Contohnya ada Sore, Efek Rumah Kaca (ini udah lama saya denger lagu-lagunya, dari SMA malahan), kemudian yang terbaru ada Payung Teduh. Band pembuka nya ada temen-temen saya dari Goddbye John. Semangat men, main yang keren.
Satu lagi yang tak kalah menghebohkan adalah MNEK yang diakan pemerintah. Opo Mnek? Eh salah, harus nya opo mneh, aku gak paham bahasa jawa padahal. Tu nya cuma opo iki dan mangan, haha malah ngawur. Kegiatan Komodo 2016 yang berisikan berbagai kegiatan dengan empat acara internasional di Kota Padang dan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar akan dilangsungkan tanggal 12 hingga 16 April 2016. Ada 36 negara yang ikut, banyak ya. Yang jelas dari berbagai sumber yang saya dapat, ini adalah kegiatan latihan militer bersama. Ada Lomba Marandang dan Peresmian Tugu Merpati Perdamaian di Danau Cimpago dan Pantai Muaro Lasak oleh Presiden Jokowi. Kemudian ada juga kegiatan lain yaitu pertandingan bola pantai.
Saya jadi ingat film Battleship, ada latihan militer bersama yang diadakan Amerika Serikat, ada pertandingan bolanya juga yang dimenangkan Jepang. Tapi kemudian saat semua kapal perangnya latihan, muncul Alien menginvasi Bumi. Mudah-mudahan yang di Padang tidak terjadi hal seperti itu. Lagi enak-enak bikin rendang, muncul Alien minta rendang. Penduduk Bumi bilang, ini namanya rendang. Dan Alien menjawab, !@#$$%^&&*). Nah itu bahasa Alien, artikan sendiri. Akhirnya mereka berdebat kembali apa sebenarnya nama masakan ini, hingga terjadi Civil War. Tentukan pilihanmu, Team Bumi atau Team Alien.
Aduh ini kok semakin ngawur, ya sudah. Kita akhiri, semoga tulisan ini bermanfaat untuk anda semua para pembaca. Abaikan omongan ngawur saya karena itu cuma sekedar candaan. Semoga saya tidak dicari oleh semua aparat yang membaca tulisan terakhir saya.
Terima kasih, bagi yang gak mau ketinggalan tulisan saya berikutnya, silahkan bookmark blog ini di browser kamu. Atau kamu juga bisa add to circle bagi yang suka buka google plus. Jangan lupa, seperti yang saya tuliskan tadi. Kamu juga bisa berbagi info event yang tidak ada di tulisan ini di kolom komentar. Mudah-mudahan saya bisa lanjutkan tulisan ini ke part II part III dan seterusnya. Sampai jumpa.
Padang Banyak Event
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
April 12, 2016
Rating: 5

Street Photography, Egoisme dan Etika Part I
Selamat malam
Malam ini saya mau membahas tentang street photography (lagi), namun tidak seperti beberapa tulisan saya sebelumnya di blog ini, di blog street photography festival atau bahan workshop. Saya ingin mengangkat sesuatu yang berbeda diluar teknis ataupun komposisi. Kali ini agak lebih emosional karena lebih kepada pribadi seorang street photographer.
Saat pertama saya menggeluti dunia fotografi, dalam benak saya yang terpikir adalah yang penting suka dulu, baru kemudian kita menggali lebih dalam dan lebih dalam lagi tentang ilmunya. Namun banyak yang merasa bahwa fotografi justru menjadikan dirinya terpaku dengan kehidupan sosial nya, pergaulan, gengsi, dll. Kita merasa diri kita berubah menjadi orang lain, berubah menjadi apa yang 'kebanyakan' inginkan, berubah menjadi power ranger. Bukan ya, yang terakhir tadi saya cuma mengada-ada.
Saya berani mengatakan diri saya saat ini adalah seorang hobiis street photography karena genre ini membuat saya menjadi diri saya sendiri. Karya street photography seseorang selalu mencerminkan pribadinya, keluh kesahnya, pandangannya terhadap dunia, dan sebangsanya. Saya tak menampik bahwa genre lain juga 'seperti itu', mencerminkan pandangan fotografernya, tapi street photography saya rasa adalah yang paling pas untuk mewakili itu semua.
![]() |
Kurniadi Ilham - Padang (2015) |
Beberapa waktu yang lalu saya membaca satu buku berjudul Kisah Mata karangan Seno Gumira. Saya baru membaca sebagian kecil saja tapi saya sudah mendapatkan banyak pelajaran. Ada dua kalimat yang saya suka, akan saya kutip disini. Yang pertama adalah "Kalimat fotografer Alfred Stieglitz (1864-1946) menunjuk kepada suatu asumsi: Fotografi dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas". Yang kedua adalah "Dunia dalam pandangan realisme terwakili oleh konsep Karl R. popper tentang Tiga Dunia. Terdapat Dunia I yang merupakan kenyataan fisik dunia ini, Dunia 2 yang merupakan dunia dalam diri manusia, dan Dunia 3 adalah hasil ciptaan manusia, yang tentu saja adalah interaksi antara Dunia 1 dan Dunia 2".
Realisme Popper ini bisa diandalkan sebagai menerima fotografi yang mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi tentang dunia, dengan bantuan teori. Artinya, teori bukanlah penjelasan final tentang realitas, tetapi secuil demi secuil mendekati apa yang disebut kebenaran. Jadi dalam konteks Popper, fotografi betapapun adalah obyektif, bisa dipisahkan dari subjek-subjek pendukungnya. Ketika menjadi obyektif maka fotografi menjadi solusi tentatif.
![]() |
Kurniadi Ilham - Padang (2014) |
Kata-kata tentatif seakan menjadi kunci untuk kita mempertanyakan sebuah obyektifitas. Misalnya satu foto yang memiliki 'sense of tragedy' dan disekelilingnya ada banyak orang yang sedang bersuka-ria. Akan banyak pendapat yang muncul tentang foto seperti ini, positif, netral, atau negatif. Well, disinilah peran fotografer, bukan hanya untuk menangkap sebuah realita dan menyajikannya sesuai dengan keadaan aslinya, tapi ia bisa memasukkan ide nya kesana. Apakah untuk membiarkan audience untuk berpikir atau menyajikan ceritanya secara detail?
Saya baru saja mencari definisi egoisme di wikipedia, kira-kira seperti ini. "Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri". Bagi saya sendiri, egoisme adalah menunjukkan pandangan pribadi kita. Menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang banyak, bagi saya itu tidak ada masalah.
We see what we want, dan itu saya sajikan ke dalam karya. Jika orang melihat karya saya, maka yang sebenarnya ingin saya perlihatkan adalah, ini adalah pandangan saya terhadap dunia, kalau pandanganmu berbeda dengan saya, itu terserah kamu, kamu adalah kamu, saya adalah saya. Gila, saya ngomong udah kayak peran antagonis aja ya. Huahaha sana panggil ibu peri *evil. Maaf saya menceritakannya jadi berasa jahat ya, tapi sebenarnya hal ini baik. Menjadi diri sendiri tentu lebih baik daripada hidup dalam kepura-puraan.
![]() |
Kurniadi Ilham - Padang Panjang (2014) |
Lantas bagaimana dengan etika? Walau kita melihat dengan cara pandang kita, namun kita juga harus memperhatikan situasi sekitar. Misalnya saya sedang berada di sebuah pasar tradisional, dan saya memotret kondisi disana. Ternyata ada yang merasa kurang nyaman, seperti ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya. Disini etika kita ditanya, saya memilih untuk pindah lokasi, atau tidak menggunakan kamera sama sekali. Kalau masih memilih tetap disana dengan kondisi seperti itu, dan kamu tidak peka, maka saya boleh bilang kamu adalah orang yang etika nya kurang.
Street photography adalah fotografi yang bercerita tentang situasi di ruang publik, banyak hal terjadi disana. Fotografer yang ingin mengabadikan momen di ruang publik ini boleh memilih untuk merekam sesuai dengan realita nya, bisa juga memperlihatkan pada audience tentang pandangannya, atau ingin merubah kondisi tersebut dalam sebuah foto.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya, masih ada part II nya. Jadi bagi yang gak mau ketinggalan, ikuti terus blog saya, add to circle atau subscribe.
Street Photography, Egoisme dan Etika Part I
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
April 06, 2016
Rating: 5

Menelusuri Sejarah Fotografi Jalanan
Tulisan asli oleh Irma Chantily
Direpost dan disadur oleh Kurniadi Ilham & Maklum Foto
=======================================
[Temukan juga tulisan saya di https://maklumfoto.wordpress.com/]
Street photography telah jadi topik hangat beberapa tahun belakangan ini. Semakin banyak fotografer, baik yang profesional maupun yang amatir, memotret jalan-jalan dan orang- orang di sekitar mereka. Ketenaran pendekatan ini tak bisa dipisahkan dari kepopuleran internet dan media sosial, tempat setiap orang berhak memamerkan jurnal visual keseharian mereka dan orang lain punya hak yang sama untuk memuja atau menghujat karya-karya tersebut.
Street photography telah jadi topik hangat beberapa tahun belakangan ini. Semakin banyak fotografer, baik yang profesional maupun yang amatir, memotret jalan-jalan dan orang- orang di sekitar mereka. Ketenaran pendekatan ini tak bisa dipisahkan dari kepopuleran internet dan media sosial, tempat setiap orang berhak memamerkan jurnal visual keseharian mereka dan orang lain punya hak yang sama untuk memuja atau menghujat karya-karya tersebut.
Kemunculan dan ketenaran beberapa situs yang didedikasikan untuk street photography, seperti Invisible Photographer Asia dan Sidewalker Asia, juga turut membantu penyebarluasan gaya ini di masyarakat. Para street photographer—bolehlah kita sebut mereka fotografer jalanan—jadi punya ruang khusus untuk bersanding dengan rekan- rekannya dari seluruh penjuru dunia. Ruang yang bukan untuk snapshot, bukan pula dokumenter, jurnalistik atau fotografi seni.
Layaknya sesuatu yang “baru”—dan seakan tak dikenal sebelumnya—banyak kalangan yang kemudian sibuk mencoba merumuskan apa dan bagaimana sebetulnya fotografi jalanan—dan dengan demikian, apa yang tidak termasuk ke dalamnya. Coba saja pergunakan telusuri arti kata kunci street photography di jagat maya. Banyak sekali arti akan ditawarkan, semuanya menyodorkan istilah dan aturan yang “seharusnya” diterapkan ketika hendak mempraktikkan fotografi jalanan. Padahal, ibarat lagu lama aransemen baru, gaya dan pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru muncul ketika teknologi kamera dan internet sudah semaju sekarang.
Perkembangan praktik dan pendekatan fotografi jalanan—layaknya praktik dan pendekatan fotografi yang lain, tak bisa dipisahkan dari sejarah dan kemajuan teknologi kamera itu sendiri. Kedua hal ini akan saling mempengaruhi, mendukung dan bereaksi— saling berkelindan hingga ke bentuk fotografi jalanan yang lazim kita temui dewasa ini.
Tulisan ini hendak mencoba menjabarkan peranan rantai sejarah dan perdebatan yang mengiringi tumbuh-kembang fotografi jalanan ke dalam dua bagian yang terpisah. Bagian yang pertama akan melihat para fotografer yang dianggap telah menghasilkan karya fotografi jalanan sejak abad ke-19. Bagian selanjutnya bermaksud menguraikan beberapa pokok perdebatan yang sering kali terbit ketika membicarakan praktik fotografi jalanan.
Fotografer Keliling Monas dan Tradisi Awal Street Photography
Pernah bertemu orang-orang yang berkeliling dan menawarkan jasa fotografi kepada anda di Monas? Mereka sudah beroperasi di Monas sejak 1970-an. Jika mau memiliki tanda bukti atas kunjungan anda ke sini, anda bisa memanfaatkan jasa mereka. Berposelah di monumen kebanggaan Soekarno itu; berlagak seperti anda sedang menyentuh, memeluk, atau mendudukinya. Sang fotografer akan memotret anda—memanfaatkan perspektif, kedalaman, serta cara pandang lensa. Hasil potret bisa langsung dicetak untuk anda bawa pulang. Sekitar lima tahun yang lalu, anda tinggal merogoh kocek sebesar sekitar Rp15.000 dan kenang-kenangan itu akan menjadi milik anda selamanya.
Yang dilakukan oleh para fotografer Monas itulah kira-kira yang disebut Colin Westerbeck dalam buku Bystander: A History of Street Photography (1994) sebagai awal mula pendekatan ini. Fotografer jalanan adalah orang-orang yang berada di ruang publik dengan kamera dan menawarkan jasa fotografi kepada orang yang lalu-lalang . Namun menolehlah lagi ke belakang, dan kita akan menemukan sesungguhnya gaya fotografi jalanan sudah dipraktikkan jauh sebelum kita banyak berdebat tentang definisi dan aturan yang mengikatnya di abad ke-21 ini. Jauh ke belakang, hingga kita bisa menemukan acuan visual fotografi jalanan dari karya-karya lukisan.
Kelahiran fotografi di Eropa bersamaan dengan Revolusi Industri, ketika metode kerja manusia perlahan mulai terotomatisasi dan kemajuan teknologi serta beragam penemuan baru di bidang optikal dan kimiawi semakin memudahkan hidup manusia. Masyarakat abad ke-19 menganggap mereka tengah berada di titik puncak kemajuan teknologi. Demikianlah kota-kota baru bermunculan bersamaan dengan globalisasi dan urbanisasi. Lanskap berubah. Masyarakat yang anonim tinggal bersama, dibatasi dinding, dan berpapasan hanya di ruang publik.
Realitas yang baru itulah yang dengan semangat diabadikan menggunakan fotografi. Kemampuan medium ini untuk merekam momen dengan cepat telah melampaui apa yang pernah dibayangkan manusia—yang selama ini tergantung pada para pelukis dan karya mereka untuk merepresentasikan sekeliling kita lewat citraan visual. Dengan cepat fotografi—dan fotografer—memanfaatkan momentum itu; mereka mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka: orang, bangunan, lanskap, interaksi manusia dengan sesama manusia serta interaksi manusia dengan lingkungannya.
Hubungan fotografer dengan kota memang selalu erat. Hampir semua jagoan fotografi kaliber dunia yang kita kenal pernah memotret kota tempat mereka tinggal dan jalan-jalan yang mereka susuri. Tak heran pula jika hasil penelusuran atas sejarah fotografi akan memperlihatkan bahwa foto-foto yang pertama diambil adalah yang memperlihatkan jalanan, atau yang diambil di jalanan. Ingatlah daguerreotype buatan Louis Daguerre (1787-1851) Boulevard du Temple (1938). Karya itu adalah salah satu gambar pertama yang memperlihatkan jalanan, sekaligus mengabadikan orang di dalam sebidang foto.
![]() |
Louis Daguerre, Boulevard du Temple (1938) |
Berangkat dari asal kata dan sejarah yang meliputi gaya ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa fotografi jalanan adalah foto-foto yang dihasilkan di jalanan dan yang merekam kehidupan orang lalu-lalang. Tentu saja definisi sangat sederhana ini kemudian mengalami perkembangan dan perdebatan karena adanya perubahan realitas sosial dan perkembangan teknologi kamera itu sendiri. Kini fotografi jalanan tidak lagi melulu berarti diambil di jalanan, ia bisa jadi diambil di ruang publik mana pun—pantai, taman, kafe, mal atau tempat terbuka mana pun lainnya yang mengizinkan orang-orang yang tak saling kenal mengaksesnya secara bersamaan.
Dalam bentuknya yang paling dasar, fotografi jalanan misalnya telah dilakukan oleh Eugene Atget (1857-1927) pada awal abad ke-20. Karya-karya Atget atas pendokumentasian kota Paris tua yang ekstensif bisa kita kenal berkat fotografer jalanan lainnya, Berenice Abbott (1898-1991). Abbott kemudian melakukan hal yang sama di kota tempat ia berasal, New York. Koleksi Atget di Paris dan Abbott di New York memperlihatkan kepada kita pengamatan atas detail desain interior yang kaya dan lanskap kota beserta bangunannya. Karya kedua fotografer ini tidak hanya memperlihatkan bangunan dan bentuk arsitektur, tapi juga konteks tempat bangunan itu berada. Mereka memotret jalanan, ruang dan orang- orang yang menempatinya. Melalui foto-foto Atget jugalah, kelompok surrealis seakan menemukan visi mereka tentang kota idaman; labirin urban tentang memori dan harapan.
Lain halnya dengan Robert Doisneau (1912-1994). Fotografer ini dikenal karena kefasihannya mendokumentasikan kehidupan di seputar kafe-kafe di Paris. Sebagai fotografer lepas pada 1950-an, Doisneau berhasil merekam momen dan warna kehidupan kota tersebut, sering kali dengan jepretan yang jenaka dan penuh empati. Foto-fotonya mengalun ringan, seringan langkahnya ketika menyusuri dan mengamati pasangan muda berciuman, pelukis melukis di jembatan, atau perempuan muda yang menikmati segelas anggur merah.
![]() |
Robert Doisneau, Un Regard Oblique (1948) |
Mungkin di antara sekian banyak fotografer jalanan yang telah menorehkan perannya dalam perkembangan gaya ini, Henri Cartier-Bresson adalah nama yang paling dikenal. Dengan “decisive moment”-nya, Bresson dikenal luas atas karya-karyanya yang dinamis, puitis dan penuh pertimbangan komposisi yang seimbang dan sering kali serupa mimpi. Lebih ingin dianggap sebagai fotografer surrealis daripada label lainnya, Bresson kerap memanfaatkan perspektif dan unsur dua dimensi dari foto untuk memberikan cara pandang yang khas tentang apa-apa yang terjadi di jalanan.
Jika kita lihat karyanya yang dibuat di Naples (1960), kita akan melihat bagaimana dengan cermat Bresson membuat subyeknya seakan berjalan menuruni pegangan tangga. Atau bagaimana dengan mengamati fotonya yang mungkin paling sering dijadikan rujukan, kita bisa melihat dua sosok yang melompat, menghasilkan komposisi dan keseimbangan yang sempurna. Foto-foto Bresson yang lain juga kerap memanfaatkan kekuatan bayangan dan komposisi terang-gelap—menjadikan subyek yang ia foto kurang penting di hadapan bayangan dan menghadirkan bentuk geometri yang kuat.
![]() |
Henri Cartier-Bresson – France (1932) |
Perkembangan teknologi kamera juga telah mengizinkan para fotografer menjelajahi cara pengambilan gambar yang berbeda dan merekam kota mereka dengan sapuan pandang yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kredo “Decisive moment”-nya Bresson mengandaikan adanya momen puncak dalam sebuah keadaan, ketika setiap elemen dalam bidang foto akan bergerak dan menempati posisi yang paling sempurna—momen puncak yang diakhiri ketika sang fotografer menekan tombol shutter.
Tanpa kehadiran kamera yang ringan, atau film yang memiliki kepekaan cahaya yang cukup tinggi, momen yang berkelebat bisa jadi terlalu sulit untuk diabadikan. Kemajuan teknologi kamera juga menjelmakan aplikasi teknis memotret yang dilakukan oleh Alexander Rodchenko (1891-1956), menghadirkan sudut pandang yang tak pernah terlihat sebelumnya. Rodchenko dikenal atas karya-karya foto yang berani dan tidak biasa. Ia memanfaatkan latar belakangnya sebagai pematung, pelukis dan desainer grafis, untuk menjelajahi beragam perspektif dan bentuk geometri untuk menghasilkan karya yang kuat secara visual dan berkesan modern dengan perspektif yang ekstrem.
Perkembangan teknologi kamera juga telah mengizinkan para fotografer menjelajahi cara pengambilan gambar yang berbeda dan merekam kota mereka dengan sapuan pandang yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kredo “Decisive moment”-nya Bresson mengandaikan adanya momen puncak dalam sebuah keadaan, ketika setiap elemen dalam bidang foto akan bergerak dan menempati posisi yang paling sempurna—momen puncak yang diakhiri ketika sang fotografer menekan tombol shutter.
Tanpa kehadiran kamera yang ringan, atau film yang memiliki kepekaan cahaya yang cukup tinggi, momen yang berkelebat bisa jadi terlalu sulit untuk diabadikan. Kemajuan teknologi kamera juga menjelmakan aplikasi teknis memotret yang dilakukan oleh Alexander Rodchenko (1891-1956), menghadirkan sudut pandang yang tak pernah terlihat sebelumnya. Rodchenko dikenal atas karya-karya foto yang berani dan tidak biasa. Ia memanfaatkan latar belakangnya sebagai pematung, pelukis dan desainer grafis, untuk menjelajahi beragam perspektif dan bentuk geometri untuk menghasilkan karya yang kuat secara visual dan berkesan modern dengan perspektif yang ekstrem.
![]() |
Alexander Rodchenko, Street |
Melalui sudut pandang yang sama sekali baru, karya-karya Rodchenko mencerminkan semangat revolusi Rusia dan Konstruksivisme yang ketika itu sedang berkembang: menggunakan aspek baru dalam berkesenian untuk mendapatkan hasil yang revolusioner.
Tentu saja, banyak fotografer lainnya yang patut disebut dalam kerangka fotografi jalanan. Dari Amerika dan Eropa kita mengenal karya-karya yang dihasilkan oleh Robert Frank, Diane Arbus, Jacob Riis, Walker Evans. Dari Jepang, Daido Moriyama dan Kohei Yoshiyuki memperlihatkan kepiawaiannya sebagai fotografer yang tak kasat mata di ruang publik dan menelanjangi kehidupan masyarakat Jepang. Semuanya berawal dari praktik para fotografer untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-hari yang terjadi di jalanan, di ruang publik—mendokumentasikan sejarah, mengabadikan yang sesaat sebelum kemudian hilang dimakan waktu.
Layaknya genre dan pendekatan fotografi yang lain, definisi fotografi jalanan dan bagaimana gaya ini dipraktikkan oleh para fotografer juga terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Serupa definisi fotografi dokumenter; awalnya hanya berarti mendokumentasikan, lalu akademisi mulai mengimbuhi genre ini dengan pesan sosial atau narasi besar lainnya, dan terus berubah hingga kini fotografi dokumenter bisa bercerita tentang bragam perspektif, baik narasi besar atau pun narasi kecil yang lebih personal.
Tak berbeda dengan fotografi jalanan. Banyak jenis karya dan pendekatan yang bisa dianggap sebagai fotografi jalanan, meski tak semuanya adalah fotografi jalanan. Memotret dengan seketika, snapshot, bisa jadi adalah salah satu bentuk dari fotografi jalanan. Namun tentu tak semua snapshot adalah fotografi jalanan. Jika saja kita sedikit membebaskan diri dari kota-kotak genre fotografi, kita bisa melihat bahwa fotografer yang ingin mengabadikan kota yang tengah berubah dan bagaimana masyarakat sekeliling mereka hidup adalah manifestasi dari fotografi jalanan. Begitu pula dengan para fotografer yang menawarkan jasa fotografi kepada orang di ruang publik. Tak ketinggalan adalah para fotografer yang kuat dalam opini ideologi dan menggunakan fotografi sebagai medium berekspresi.
Perdebatan yang Menghangat
Hal lain yang selayaknya turut dicermati ketika membicarakan soal fotografi adalah konteks konotasi yang dihasilkan dari pembuatan sebuah foto—atau bagaimana cara memotretnya; candid atau tidak, sudut pandang dan fokus, dan lain sebagainya. Selain itu, perdebatan juga biasa melibatkan tempat foto diambil, subyek dan obyek yang “seharusnya” ada, serta aspek teknis lainnya, seperti jenis kamera yang digunakan, penggunaan flash, editing gambar dan lain-lain.
Sudah tentu, perdebatan tentang soal-soal tadi selalu membuat perkembangan medium terkait jadi lebih dinamis. Begitu pula dengan fotografi. Sejak pertama kali muncul, kehadiran fotografi sudah mengundang kontroversi—baik dari kalangan di luar praktisi fotografi, atau pun sesama fotografer yang berbeda “kubu”. Misalnya saja perdebatan tentang apakah sebuah foto itu subyektif atau obyektif. Jika mengikuti dalil John Berger dalam bukunya yang bertajuk Another Way of Telling, maka fotografi sesungguhnya mengutip realitas—bukan menerjemahkannya seperti lukisan. Foto, yang dihasilkan dalam sepersekian detik menggunakan refleksi cahaya atas benda-benda, adalah gambar visual tanpa kode, pengalaman atau pun kesadaran.
Contoh lain adalah perdebatan laten di kalangan fotografer jurnalistik dan dokumenter: jika fotografi adalah penghadir realita, maka sejauh mana hasil karya foto boleh dimanipulasi? Dulu foto dokumenter harus diberi bingkai hitam sebagai tanda bahwa segala sesuatu yang terfoto sesuai asli dan tidak ada yang diubah dengan sengaja. Menggunakan flash juga tidak diizinkan karena dianggap memberikan elemen tambahan pada realitas yang hendak ditangkap.
Soal menggunakan flash ini juga turut menjadi salah satu butir yang didiskusikan dalam ranah fotografi jalanan. Ada kelompok yang menolak penggunaan flash, ada yang mengamini saja. Child with Toy Hand Grenade in Central Park karya Diane Arbus (1923-1971) jelas dibuat menggunakan flash. Cahaya matahari yang jatuh ke arah lensa akan menutupi wajah si anak jika Arbus tidak menggunakan flash. Praktik yang sama juga dilakukan oleh Jacob Riis (1849-1914), fotografer jurnalistik Amerika Serikat pertama. Ia menggunakan flash powder untuk membantu pemotretan di tempat-tempat yang biasa ia datangi: ruangan kumuh dan gelap, bar tak berjendela dengan langit-langit rendah, kamar sempit yang ditempati banyak orang, dan jalan-jalan yang muram tempat berdiamnya kelompok masyarakat miskin di New York.
![]() |
Diane Arbus, Child with Toy Hand Grenade in Central Park, New York City (1962) |
Liz Wells, editor buku Photography: A Critical Introduction, mengatakan bahwa melakukan cropping dan mengubah warna foto dokumenter bisa membuat anda kehilangan kredibilitas sebagai seorang fotografer. Hingga kini perdebatan itu masih berlanjut dan justru sempat menghangat ketika Photography menawarkan jasa untuk sedikit “memperbaiki” warna foto secara digital. Padahal, menurut Victor Burgin, manipulasi adalah esensi dari fotografi. Para fotografer adalah orang-orang yang memanipulasi aspek fisik dan produksi foto: kamera, film, cahaya, obyek dan manusia. Semua itu dilakukan fotografer untuk mereproduksi citraan dunia sebagai “obyek kontemplasi visual”.
Subyektivitas dalam fotografi dan kesadaran “memanipulasi” tertuang dalam gaya fotografi jalanan modern yang berkembang di Amerika pada 1950-an. Ketika itu, representasi visual yang terbut adalah yang menawarkan bentuk visual yang spontan dan langsung, subyektif, serta mampu memperlihatkan emosi suatu zaman. Bantahan Robert Frank (lahir 1924) atas kredo “decisive moment”-nya Bresson turut berperan dalam perkembangan konsep fotografi jalanan yang baru. Bagi Frank, semua momen adalah puncak dan bernilai, ditandai dengan keputusan seorang fotografer untuk mengabadikan momen tersebut dengan kamerany. Fotografi jalanan dianggap bertujuan mencari momen acak di ruang publik, menemukan ketakterdugaan di tengah komposisi yang tersusun rapi.
![]() |
Robert Frank, Political Rally (1956) |
Menemukan ketakterdugaan dengan komposisi dan jukstaposisi yang kuat di ruang publik bisa menghasilkan foto jalanan yang menarik. Sulit, memang. Tapi justru di situlah letak tantangan para fotografer jalanan dewasa ini. Menyeimbangkan semua elemen tadi, dan menghindari citra yang klise—semua itu untuk menemukan acuan visual termutakhir bagi fotografi jalanan.
Mempelajari sejarah dan menoleh ke belakang bukanlah semata usaha bernostalgia dan menumbuhkan romantisme. Masa lalu bisa mengajarkan kita akan perjalanan panjang praktik fotografi jalanan, bagaimana ia berkelindan dengan medium lain, situasi sosial, politik, serta kemajuan teknologi kamera. Saling mempengaruhi di antara semua aspek tadi pada akhirnya akan menerbitkan referensi visual dan pewacanaan fotografi yang terus menerus terbarui.
==========================================================
Profil Irma Chantily
Irma Chantily lahir di Jakarta, 1985. Ia adalah penikmat fotografi, meski sama sekali bukan fotografer. Ia beberapa kali menulis tentang fotografi di media massa cetak dan online serta terlibat dalam produksi pameran foto atau seni rupa—baik sebagai kepala proyek, kurator, asisten kurator, penulis atau pun editor. Walau belum cukup sering atau pun mahir, Irma juga gemar melibatkan diri pada beberapa proyek penelitian fotografi Indonesia. Bersama dua rekannya, ia membuat sejarahfoto.com, sebuah inisiatif untuk mencoba memetakan sejarah fotografi Indonesia. Pada 2011, Irma bergabung dengan Komunitas Salihara dan satu tahun kemudian ia menjadi manajer arsip dan dokumentasi—sambil terkadang tetap memenuhi panggilan untuk menjadi pengajar lepas di Program Studi Fotografi, Institut Kesenian Jakarta.
==========================================================
Sumber
Gerry Badger, Theory : The Indecisive Moment: Frank, Klein and “Stream-Of-Consciousness” Photography (2004). http://www.americansuburbx.com
Liz Wells, ed., Photography: A Critical Introduction (2004), 100
dan berbagai sumber yang relevan
Menelusuri Sejarah Fotografi Jalanan
Reviewed by Blog Adiya Hizaki
on
April 06, 2016
Rating: 5
Langganan:
Postingan
(
Atom
)